Oleh: Baiq Farhatul Wahidah (Ketua Prodi Bioogi UIN Walisongo Semarang)

Pola hidup bersih dan sehat dalam kondisi pandemi selayaknya menjadi suatu hal yang wajib untuk terus menerus dilakukan. Beberapa protokol kesehatan sebagaimana anjuran WHO, Cuci tangan secara teratur dengan sabun dan air mengalir, serta penggunaan hand Sanitizer dalam aktifitas sehari-hari harus terus menerus didengungkan untuk memerangi virus COVID-19 ini.

Anjuran pencegahan lain, seperti langsung melakukan pencucian terhadap pakaian yang digunakan seusai berpergian juga perlu untuk dilakukan, guna memastikan transmisi virus yang menempel pada pakaian dapat dicegah. Namun diluar hal tersebut, terdapat konsekuensi yang terkandung dalam penggunaan bahan-bahan kimia yang digunakan. Beberapa studi menjelaskan bahwa penggunaan detergen yang rata-rata penggunaanya hanya 50 gram/hari oleh tiap rumah tangga meningkat 300% menjadi 150 gram/hari.

Kondisi tersebut mau tidak mau menyebabkan beban pencemar terhadap air dan tanah semakin meningkat pula. Limbah detergen termasuk dalam jenis Greywater atau limbah nonkakus, yang mencakup limbah domestik rumah tangga. Sebagian besar produk pembersih tersebut mengandung serangkaian senyawa bernama “Volatile Organic Compounds” (VOC) yang bukan hanya berbahaya tetapi juga merusak saluran air, Khususnya untuk detergen mengandung bahan-bahan berbahaya seperti petrokimia dan Nonylphenol Ethoxylates (NPE), dan fosfat.

Terkait dengan penambahan jumlah fosfat, dengan kandungan unsur fosfor yang terkandung di dalamnya, dengan konsentrasi melebihi baku mutu lingkungan, maka akan menyebabkan penurunan kualitas air, hal ini disebabkan karena fosfat bisa memacu pertumbuhan alga ataupun enceng gondok yang terdapat pada ekosistem tersebut.

Bilamana pertumbuhan alga tidak terkendali (Eutrofikasi), maka tanaman tersebut akan menutupi permukaan perairan sehingga penetrasi sinar matahari ke dalam air berkurang. Dampak negatif selanjutnya tentu akan dirasakan oleh biota air, akibat efek eutrofikasi yang menghambat penetrasi sinar matahari dan menggangu sirkulasi oksigen. Hal demikian akan mengganggu proses fotosintesis yang menyebabkan defisit oksigen sehingga menyebabkan kepunahan biota dalam air.

Di sisi lain fosfat yang mencemari perairan juga dapat menyebabkan booming fitoplankton (alga). Populasi alga yang tinggi dapat mempengaruhi turunnya populasi ikan di perairan. Hal tersebut diperparah akibat limbah cair yang mengandung detergen yang dibuang langsung ke lingkungan, sehingga dapat menaikkan pH air sehingga mengganggu organisme dalam air seperti ikan. Kisaran pH yang layak untuk kehidupan air tawar menurut kriteria EPA (1991) adalah 6,5-9,0.

Pada umumnya media air yang paling bersih untuk ikan adalah netral yaitu pada kisaran 7,0-8,0. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keberadaan detergen dalam suatu badan air dapat merusak insang, organ pernafasan ikan, dan perkembangan gonad pada ikan. Kerusakan yang terjadi pada organ tersebut tergantung konsentrasi detergen yang mengkontaminasi air. Kerusakan insang dan organ pernafasan ikan ini menyebabkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigen terlarutnya rendah menjadi menurun. Padahal keberadaan busa-busa di permukaan air diduga menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam air.

Dilema Penggunaan Detergen

Beberapa detergen biasanya menambahkan bahan antiseptik pada formulanya. Antiseptik diketahui mengganggu kehidupan mikroorganisme dalam air, bahkan pada kondisi tertentu dapat mematikan, dan sebagian lain detergen tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme yang tersedia dalam air. Salah satu Negara yang melarang peredaran sabun antiseptik adalah Amerika Serikat. Kandungan triklosan pada sabun antiseptik selain menyebabkan kulit kering, juga berpotensi menyebabkan kanker, mengganggu fungsi otot, serta mengganggu sistem endokrin yang bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan hormon dalam tubuh. Melihat potensi bahaya penggunaanya bagi lingkungan dan kesehatan, Amerika menekan perederannya guna memastikan pencemaran dapat dikendalikan.

Berbeda dengan di Indonesia, produk-produk dengan kandungan bahan tersebut sangat mudah dijumpai dan bahkan menjadi bagian dalam keseharian. Penjelasan diatas barangkali memang scientific, namun penulis ingin mengajak pembaca untuk masuk lebih dalam, bahwasanya memang terjadi dilema besar pagi pengelolaan lingkungan hidup yang baik, disatu sisi penggunaan diterjen memang diperlukan guna mencegah penyebaran virus COVID-19, namun dilain hal ternyata penggunaanya lebih masif dapat menyebabkan pencemaran air semakin meluas.

Pandemi COVID-19 memang mau tidak mau berdampak pada segala hal, dan dampak lanjutannya termasuk dalam pencemaran lingkungan yang justru dikarenakan cara-cara pencegahan yang berlebihan pada masyarakat. Hal demikian ini perlu pendekatan yang lebih bijak dalam menghadapi kondisi krisis semacam ini. Termasuk dalam hal bijak dalam menggunakan detergen sebagai sisi lain pencegahan COVID-19.

Dari uraian diatas, penulis mengajak semua pihak untuk lebih bijak menggunakan detergen bukan hanya karena kita paham manfaat yang kita peroleh tetapi juga karena kita tahu dampak yang ditimbulkannya. Salam sehat. Salam Lestari! (*)