Universitas dan Tantangan “Normalitas Baru”

Rusmadi

Sekretaris Prodi Biologi, UIN Walisongo Semarang

 Hampir tak terbantahkan, sains dan teknologi sebagai salah satu kebudayaan manusia telah berkembang secara fantastis. Ia telah berkembang dan berjalan hingga ke titik terjauh dalam mata rantai sejarah ilmu pengetahuan, karena manusia telah mampu menghadirkan kedigdayaan sains dan teknologi hampir di semua aspek kehidupan manusia. Itulah sebabnya, sains dan teknologi berkembang menjadi salah satu penanda bagi hidup dan berkembangnya peradaban manusia.

Apa yang dibayangkan oleh Auguste Comte tentang perkembangan suatu masyarakat menuju masyarakat positivis seperti menemukan pembuktian sahihnya: bahwa sejarah pemikiran manusia telah menuju fase baru dimana orang tidak lagi mendasarkan kebenaran pada mitos-mitos, melainkan pada penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Kebenaran yang bersumber dari mitos-mitos telah disingkirkan oleh kebenaran ilmiah. Tidak ada lagi fenomena-fenomena yang tidak bisa dijawab secara ilmiah.

Sejarah mencatat, melalui penelitian dan pengembangan, sains dan teknologi telah memberikan kemajuan yang signifikan, baik pada ranah teoritis maupun pada rana praksis. Semua fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan secara presisi, yang kemudian melahirkan berbagai disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu dasar (basic science) maupun ilmu-ilmu terapan (applyed science), baik ilmu-ilmu monodisiplin maupun multidisiplin. Prestasi itu, seolah mengantarkan kita pada suatu kondisi zaman dimana “tidak ada fenomena yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, dan tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh sains dan teknologi”.

Atas prestasi itu pula, peradaban manusia telah memasuki era dimana tidak ada lagi masalah di dunia ini yang belum pernah didekati dan dijelaskan oleh sains. Sains berkembang sedemikian artikulatif, dan masuk ke semua aspek kehidupan manusia, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Perkembangan teknologi dan ilmu-ilmu terapan lain juga berkembang sedemikian atraktif. Bahkan, tidak ada kehidupan manusia yang tidak bersentuhan dengan teknologi. Teknologi telah melayani manusia sedemikian rupa, sehingga keterbatasan-keterbatasan manusia hampir tak lagi tampak. Teknologi telah tampil sedemikian intens di tengah-tengah kehidupan manusia melalui karya-karya teknologi, baik teknologi sederhana dan tepat guna (low technology), teknologi madya (intermediate technology), maupun teknologi tinggi (high technology). Perkembangan bidang ilmu genetika, nanoteknologi, robotika, dan teknologi informasi adalah beberapa contoh bagaimana atraktifnya dunia teknologi.

Pada akhirnya, tentang perkembangan sains dan teknologi ini, kita mendapatkan perspektif yang cukup baru soal “sejarah masa depan” dari seorang futuris, Prof. Yuval Noah Harari. Andri Syah telah menuliskan pandangan Harari itu dengan sangat apik dalam kolom di Qureta (12 September 2016). Harari berbicara tentang sejarah, tetapi bukan ke sejarah masa lalu, melainkan sejarah masa depan. Sejarah sering bercerita tentang masa lalu hingga hari ini, tetapi tidak banyak yang bercerita tentang apa yang akan terjadi sesudah itu. Harari juga mewanti-wanti bahwa ia tidak sedang berbicara tentang sesuatu yang pasti terjadi pada masa yang akan datang. Ia hanya mengingatkan komunitas global, bahwa manusia sedang menghadapi perubahan radikal sebagai akibat dari kemajuan sains dan teknologi. Manusia mengalami transisi besar-besaran: dari wujud organik (human), dan akan berevolusi menjadi wujud non-organik (post-human). Kita mungkin membayangkan apa yang dipikirkan Harari ini layaknya cerita fiksi ilmiah di film-film Hollywood kenamaan Amerika, tentang manusia-manusia mesin.

Andri Syah juga menyajikan pandangan serupa dari Direktur Teknologi Google, Ray Kurzweil yang berbicara tentang teori singularitas: suatu masa dimana kemajuan sains dan teknologi telah membawa peradaban manusia ke arah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagai seorang pakar teknologi, ia bercerita dengan gamblang tentang peta jalan evolusi manusia dilihat dari sisi kemajuan teknologi. Dalam tulisannya, The Singularity is Near, Kurzweil berpendapat bahwa manusia sekarang menghadapi epos ke lima. Epos dimana manusia dan mesin akan menjadi satu. Menurutnya, hal ini akan terjadi sebagai akibat dari kemajuan di tiga bidang: Genetika, Nanoteknologi, dan Robotika. Ketiganya adalah bidang yang menjadikan segala hal yang sebelumnya dianggap tidak mungkin menjadi mungkin. Ketiga bidang tesebut akan mentransfomasi umat manusia dari makhluk organik menjadi non-organik (post-human). Melalui ketiga teknologi tesebut, spesies manusia baru akan lahir, dan merupakan kelanjutan dari evolusi manusia sebelumnya.

Namun, tulis Andry Syah, kedua futuris ini sepakat akan satu hal: transisi dari wujud organik (human) ke wujud non-organik (posthuman) bukan tanpa risiko. Akan ada banyak bahaya yang mengintai. Baik itu yang berasal dari teknologi ataupun manusia. Dari sisi teknologi, ia dapat menghadirkan keterasingan baru dari peran-peran produktif dan sosial. Ambil contoh misalnya kecerdasan buatan (artificial intelligence), para ahli memprediksi bahwa kecerdasan buatan dalam waktu dekat akan menimbulkan keterasingan manusia baru bagi manusia modern. Menurut Harari, manusia hanya memiliki dua jenis modal: tenaga dan pikiran (kognitif). Setelah Revolusi Industri, mesin mampu menggantikan tenaga manual manusia. Oleh karenanya, ketika pekerjaan manual mulai berkurang manusia dengan mudah hijrah pada pekerjaan yang sifatnya kognitif. Di sinilah fase keterasingan manusia dimulai. Pada fase berikutnya, manusia semakin terasing karena mesin telah mulai mampu mengimbangi kemampuan kognitif manusia. Ini mengancam satu-satunya modal terakhir manusia, yakni pikiran (kognisi). “Apa yang akan dilakukan ketika mesin telah menggantikan pelayan toko, dokter, sopir bahkan pengacara? Apa yang akan dilakukan dengan jutaan tenaga manusia yang tidak berguna?” Tanya Harari.

Bahaya lain yang timbul dari transisi ini adalah bahaya yang datang dari manusia itu sendiri. Diperkirakan kelompok radikal baru akan muncul. Kelompok radikal ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama, jika pun ada kaitannya dengan agama, ia merupakan irisan-irisan akibat perjumpaan cara pandang. Ya, bisa jadi akan ada kelompok yang menolak karena mereka adalah “korban” dari pengambilalihan peran produktif dan sosial manusia oleh mesin seperti halnya kaum Luddite yang menolak penggunaan mesin di Inggris pada abad 19. Atau, bisa juga akan muncul kelompok yang menolak karena teknologi telah keluar dari kefitrahan hidup yang digariskan agama, sehingga muncullah gerakan revivalisme baru. Mereka menganggap bahwa perkembangan sains dan teknologi telah mengarahkan manusia menjadi jauh dari identitas dan cita-cita agama. Lebih-lebih, mereka beranggapan bahwa sains dan teknologi modern dibuat oleh tangan-tangan orang kafir, sehingga sudah selayaknya kita menjaukan diri dari hal-al yang berbau kafir, termasuk hasil karyanya, karena khawatir akan menodai kemurnian tauhidnya.

The Artilect War, sebuah buku yang tulis oleh Hugo de Garis (2005), telah mendeskripsikan dengan jelas tentang potensi konflik yang muncul akibat keterasingan manusia oleh teknologi ini. Tidak menutup kemungkinan mereka yang termarjinalkan dan terasing itu akan menyalurkan rasa frustasinya dengan jalan kekerasan. Akibatnya, konflik sosial yang dipicu oleh keterasingan manusia dan munculnya kelompok radikal baru ini benar-benar menjadi ancaman bagi peradaban manusia itu sendiri. Sesuatu yang menjadi absurd: di satu sisi kemajuan sains dan teknologi adalah prestasi membanggakan manusia, tetapi di saat yang sama ia bisa saja menjadi pemicu timbulnya problem sosial baru berupa munculnya keterasingan manusia dan kelompok radikal baru.

Terlepas dari absurditas yang melingkupi perkembangan sains dan teknologi, tetapi ada satu hal yang sulit terbantahkan, dimana pada akhirnya kemajuan sains dan teknologi menjadi mata rantai kehidupan yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia itu sendiri. Kita hampir-hampir tidak bisa hidup tanpa bantuan teknologi, mulai dari pekerjaan yang besar dan berat hingga pekerjaan yang paling ringan sekalipun. Eksistensi teknologi bahkan mengangkangi eksistensi manusia itu sendiri. Bagaimana tidak, eksistensi teknologi terkadang menyebabkan seseorang justru tidak tahu apa-apa lagi, dan juga tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena semuanya telah dilakukan oleh teknologi dengan sistem otomatis. Ya, sistem serba otomatis itu telah menyebabkan manusia lupa akan kemampuannya sendiri.

Normalitas Baru

Jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan, perkembangan sains dan teknologi yang sedemikian atraktif tersebut sesungguhnya adalah normalitas baru. Ya, meskipun pada awalnya banyak yang terkejut, kebudayaan baru akibat evolusi sains dan teknologi itu pada akhirnya dipahami sebagai sesuatu yang normal, dan harus berjalan, karena segala sesuatu memanglah demikian, kemudian diterima sebagai hal yang biasa, menjadi normal. Titik normal baru (the new normal) yang diterima oleh masyarakat tersebut kemudian dipahami sebagai kondisi yang wajar. The new normal merupakan terminologi yang dipakai pada tahun 2009 oleh Philadelphia City Paper saat mengutip Paul Glover dalam menjelaskan kondisi yang semula dinilai tidak umum menjadi sesuatu yang kemudian dianggap biasa, wajar, dan akhirnya diterima secara luas (Ridwan Sanjaya, 2018).

Kita mungkin masih mengingat dengan jelas, bagaimana awal kehadiran ojek online dan taksi online yang merebak di tahun 2015 an. Pada saat itu, dunia bisnis per-ojekan menghadapi gejolak, muncul kontroversi, banyak pihak yang menolak hadirnya ojek online dengan dalih bisa menggusur tukang ojek konvensional, muncul aksi demontrasi yang berujung pada pelarangan ojek online dan taksi online, atau paling tidak jangkauan layanannya dibatasi. Tetapi lambat laun, dunia perojekan menghadapi normalitas baru, lama kelamaan mereka diterima sebagai sesuatu yang wajar, karena segala sesuatu memanglah demikian, menjadi hal yang biasa, menjadi normal.

Kita mungkin juga menjadi bagian dari orang yang menikmati bisnis online. Orang berjualan tanpa memiliki toko, tanpa memiliki karyawan, tetapi bisa bertransaksi dengan omset ratusan juta per bulan. Supermarket pun kini sudah mulai berubah, mereka beralih ke toko dengan aplikasi yang mumpuni. Pengunjung tidak perlu datang ke toko, tetapi ia bebas memilih barang melalui smartphone, mengecek harga, dan hanya dalam satu kali tekan, terjadilah transaksi, barang dibayar melalui transfer online, dan kemudian barang pilihannya akan segera dikirim ke rumah.

Dalam dunia bisnis online sendiri juga mengalami normalitas baru. Awalnya semua pembayaran harus ditransfer terlebih dulu, baru kemudian barang dikirim ke alamat pemesan. Tetapi saat ini, barang bisa dikirim terlebih dulu dan kemudian dibayar saat barang sudah sampai di rumah atau alamat yang dituju (bayar di tempat). Ya, dunia sedang dan akan terus menghadapi normalitas-normalitas baru, yang pada awalnya terasa tidak wajar, aneh, sulit dipercaya. Tetapi kemudian, lambat laun menjadi normal, wajar, dan biasa, karena segala sesuatu memanglah demikian.

Apa yang kita saksikan dari sedikit kisah ojek online dan supermarket online adalah kenyataan bahwa kehadiran teknologi bisa menjadi normalitas baru dalam gerak kehidupan manusia. Akan muncul kejutan-kejutan baru dalam setiap gerak kehidupan, tetapi kejutan-kejutan baru tersebut lambat laun akan menjadi normal dan biasa. Kejutan-kejutan baru yang kita hadapi merupakan titik normal yang baru. Kejutan ini sering membawa gangguan dan masa sulit bagi banyak pihak, namun kekuatan untuk pulih dengan cepat dan bangkit kembali mengejar ketertinggalan akan menjadi kemampuan yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai perubahan tersebut.

Tantangan bagi Universitas

Sebagai institusi budaya, maka universitas juga menghadapi normalitas baru seiring dengan adanya supremasi teknologi ini. Universitas, dengan demikian tidak lagi cukup hanya berjalan pada jalan normalitas lama itu. Universitas harus mampu merespon perkembangan dunia baru sebagai bagian dari titik “normalitas baru” tersebut. Universitas adalah dunia yang terbuka, sehingga penyangkalan dan menutup diri terhadap normalitas baru ini adalah bagian dari gejala revivalisme baru.

Pada konteks ini, umumnya terdapat ada dua pilihan yang bisa diambil oleh warga universitas, yakni: Pertama, kita cukup mengambil langkah-langkah penyesuaian agar kita bisa hidup berdampingan dengan normalitas baru itu. Kedua, kita justru menciptakan inovasi-inovasi baru yang tidak dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan normalitas baru itu, melainkan kita membuat inovasi-inovasi baru yang justru bisa menjadi normalitas-normalitas baru lain. Bukankah kita tahu bahwa the new normal adalah pada awalnya dianggap aneh, tetapi kemudian pada akhirnya dianggap wajar dan normal. Semua pilihan sebenarnya sama-sama memiliki konsekuensi, dan bentuk konsekuensinya juga sama, yakni harus mampu berinovasi.

Saat ini, kita pun sadar, bahwa perguruan tinggi sedang menghadapi perubahan global yang sangat mendasar atau “the deep shift” terkait dengan model-model pembelajaran baru. Saat ini, banyak muncul kuliah-kuliah alternatif melalui program Massive Open Online Courses (MOOC) yang dibuka oleh universitas-universitas ternama dunia dengan biaya murah, bahkan banyak yang menawarkan kursus-kursus secara gratis (atau setidaknya berbiaya murah). Program perkuliahan dan kursus alternatif model MOOC juga melibatkan universitas ternama seperti Harvard University dan Massaschusetts Intitute of Technology (MIT). Kita bisa melihat bagaimana Coursera, Udacity, edx Course, dan juga IndonesiaX yang telah membuka program MOOC ini. Melalui MOOC, para mahasiswa dapat mengakses materi perkuliahan dari profesor terbaik dari berbagai belahan dunia.

Kuliah-kuliah alternatif itu mengeluarkan sertifikat yang diakui oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia, karena perusahaan besar saat sudah mulai tidak bertanya ijazah, melainkan portofolio dan kompetensi. Lihatlah bagaimana perusahaan ternama dunia seperti Google, IBM, Amazon, Ernst & Young, dan lain sebagainya, telah mengakui lulusan dari program MOOC. Itulah sebabnya, kuliah atau kursus secara online semakin digemari.

Program MOOC ini adalah normalitas baru dalam dunia pendidikan. Pada awalnya adalah sesuatu yang sepertinya tidak mungkin, tidak umum, tetapi pada akhirnya menjadi sesuatu yang kemudian dianggap biasa, wajar, dan normal. Semua akan mengalami penyesuaian-penyesuaian, yang pada akhirnya akan dianggap biasa dan normal, dan begitu seterusnya, akan ada normalitas-normalitas baru lain yang akan hadir.

Memilih jalan kedua, yakni menciptakan inovasi-inovasi baru yang justru berharap akan menjadi normalitas baru lain membutuhkan inovasi yang tidak biasa. universitas tidak hanya cukup mengandalkan literasi lama (membaca, menulis, dan matematika), melainkan membutuhkan literasi baru agar warga kampus menjadi kompetitif menghadapi normalitas-normalitas baru yang akan datang. Literasi baru dibangun atas kemampuan membaca dan menganalisis informasi.

Pada konteks ini, universitas (harusnya) bukan lagi diarahkan untuk meningkatkan kemampuan teknis saja, karena saat ini kemampuan teknis telah tergantikan oleh teknologi melalui sistem otomatisasi. Bahkan, teknologi tidak hanya telah menggantikan peran-peran teknis manusia, tetapi juga melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence) teknologi mampu menggantikan peran-peran analitik manusia. Persis, manusia hanya sebagai operator, semua analisis dilakukan oleh mesin. Oleh karenanya, sudah saatnya universitas tidak lagi dikungkung dengan kecerdasan-kecerdasan teknis yang bersifat hardskill semata, melainkan juga perlu mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang bersifat softskill. Artinya, kemampuan teknis tetap penting, tetapi tidak semata-mata soal teknis.

Universitas harus mampu mendorong para warganya untuk memiliki kecerdasan-kecerdasan analitik yang bersifat softskill (mengkombinasikan teknologi informasi, kemampuan analisa, dan kemampuan beradaptasi), karena kemampuan inilah yang dapat menyesuaikan diri dengan normalitas baru di tengah revolusi industri 4.0. Dengan demikian, maka kemampuan untuk menganalisis secara kritis menjadi salah satu keunggulan yang harus dikembangkan oleh universitas, sehingga tidak terjebak semata-mata pada penguasaaan alat atau teknologi. Dengan begitu, kemampuan dan kompetensi yang dimiliki oleh warga universitas tidak mudah kedaluwarsa oleh perubahan yang cepat berganti.

Melalui kesadaran akan adanya normalitas baru ini, maka warga universitas sebagai bagian dari masyarakat global, harus meyakini bahwa saat ini bekerja dengan baik saja tidak cukup. Normalitas baru menuntut warga universitas (termasuk mahasiswa) untuk bekerja memiliki kemampuan analitik yang baik, pandai melihat peluang-peluang baru, dan mampu beradaptasi dengan normalitas-normalitas baru yang terus hadir. Pada konteks ini, maka setiap warga universitas mesti membekali diri dengan kemampuan analitis kritis. Melalui kemampuan tersebutlah, warga universitas akan mampu menghadapi normalitas-normalitas baru yang dihadapi. Kita tidak perlu melakukan penyangkalan-penyangkalan atas normalitas-normalitas baru ini, karena penyangkalan justru bisa menjebakkan diri pada gerakan revivalisme baru dan disrupsi. Mari kita bersiap menghadapi normalitas baru, atau kita menciptakan normalitas-normalitas baru yang lain. ‘Ala kulli hal, kita perlu memelihara tradisi lama yang baik, dan terus memproduksi tradisi baru yang lebih baik.